Tarawih dan Palestina


29 Mei 2018.

Ini Ramadhan ketiga aku mulai membiasakan tarawih di Masjid Baiturrahman. Dan tarawih hari ini Alhamdulillah kami kedatangan tamu istimewa, Syeikh dari Palestina (tak kusebutkan nama, khawatir keliru dalam penulisannya) yang mengimami shalat tarawih serta ceramah sebelum witir.

Tadinya kupikir, bacaan suratnya akan panjang, tapi tidak. Standar saja walaupun sangat tartil, pastinya. Kedatangan beliau ke sini membuatku berpikir dan merenung.

Terpikir olehku, bagaimana perasaan beliau berkunjung ke Indonesia saat Ramadhan. Aku membayangkan bagaimana berada di posisi beliau. Setelah mengalami dan menjalani masa perjuangan di tanah haram sana, lalu menyaksikan betapa masyarakat Indonesia dibuai akan kemudahan dan keamanan. Menu berbuka yang beragam melimpah, tawa dan suka cita. Miris. Akankah beliau berpikir waktu dan segala kenikmatan yang kami dapatkan terbuang dalam kesia-siaan? Atau ini hanya dalam pikiranku saja? Ah, mungkin beliau terlalu taqwa untuk sekedar mencela. Dibanding menyesalkan dan membandingkan, beliau lebih berharap dan mendoakan lahirnya mujahid-mujahid di Indonesia yang ikut membela dan mempertahankan bumi Palestina.

Dalam ceramahnya beliau menyampaikan bagaimana keadaan Palestine yang sejak bertahun lalu dikepung oleh zionis yahudi. Mereka membangun terowongan bawah tanah untuk menghancurkan Masjid Al-Aqsa. Mereka membangun pemukiman di sekitar Masjid untuk mengusir penduduk Palestine. Mereka menerapkan pajak yang tinggi, dan berbagai cara lain untuk menyusahkan warga Palestine. Tapi beliau katakan “Kami akan tetap di sini. Memperjuangkan tanah ini”.

Beliau sampaikan juga bagaimana kondisi Gaza. Kota yang miskin karena telah dibangun tembok setinggi 8 meter untuk memblokadenya. Tak hanya krisis pangan tapi juga kurangnya tenaga dan fasilitas kesehatan. Membuat mereka akhirnya mengungsi ke Negara terdekat.

Sedang di sini, di negeri ini. Begitu banyak nikmat. Makanan, pakaian, kesehatan, keamanan, namun sedikit yang bisa mensyukurinya. Kenaikan sedikit harga bahan pokok, mengeluh. Belum beli baju lebaran, mengeluh. Sakit sedikit di kepala, gigi, perut, mengeluh. Kinerja pemerintah yang seakan tak pernah memuaskan, mengeluh. Bahkan mungkin ada saja yang berkomentar “Rasanya ingin pindah saja, tinggal di Malaysia, Singapura atau Brunei Darussalam”.

Begitupun aku, sedikit masalah saja, “melarikan diri”. Ada yang tidak sesuai rencana, menggerutu dan meratapi. Sedang mereka di sana, dalam kondisi terburuk sekalipun, dengan yakin tetap berseru, “Kami akan tetap di sini!”. Bergetar hatiku mendengar ketegasan dalam kalimat yang beliau ucapkan.

Tak ada apa-apanya. Sungguh, perjuangan kita di sini, yang dirasa sudah setengah mati, berpeluh demi sesuap nasi, bertahan di tengah terik matahari, menjadi tiada berarti saat sebentar saja kita menilik ke tanah para Nabi.

Semoga Allah senantiasa menjaga bumi Palestina dari sentuhan zionis Yahudi.